Rabu, 25 Desember 2013

EKUATORIAN


EKUATORIAN
Anita Nugrah Hasanah
 
            Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi tapi matahari seperti sudah menapaki bumi. Panas sudah menyengat. Sebagian tubuh sudah berkeringat. Ya, beginilah kalau kita sedang berada di pusat urat bumi. Laju rotasi terasa begitu cepat. Setiap menit dan detik terasa begitu singkat.
            Upacara bendera seperti dilaksanakan di atas kubangan magma. Rian terus berusaha berdiri sekuat tenaga. Kepalanya pening dan tubuhnya mulai bereaksi tak biasa. Iringan lagu Indonesia Raya semakin membuat kepalanya terasa berat. Tubuhnya oleng. Kesadarannya hilang seketika.
            Mata Rian terbuka. Ia berbaring di atas tempat tidur. Dilihatnya langit-langit ruang UKS yang putih temaram. Seorang gadis tampak berdiri di sampingnya sambil meracik obat. Dari seragam yang dipakainya, Rian tahu kalau dia seorang petugas PMR. Rian pun bergegas bangkit.
            "Oh, kamu udah bangun ya!" ujarnya ramah. "Kamu cuma pusing kepanasan aja kok, nanti juga sembuh. Nanti aku kasih obatnya ya!"
            "Ma...makasih ya," ucap Rian terbata. Gadis berambut panjang itulah yang telah menolongnya. Sebagai seorang cowok, Rian sungguh sangat malu karena terlihat lemah di depannya. Sungguh menyebalkan.
            "Kamu murid baru ya?"
            Rian mengangguk. Baru 3 hari ia pindah ke Pontianak tapi kejadian memalukan sudah dialaminya. Rian sekeluarga pindah ke Pontianak untuk mengikuti sang ayah yang dinasnya dimutasi.
            "Kenapa gue mesti pingsan segala sih! Padahal ini kan hari pertama gue masuk sekolah!" gerutu Rian dalam hati.
            "Beginilah jadinya kalo kita tinggal tepat di pusat garis khatulistiwa, panasnya luar biasa! Apalagi kalo di bulan Maret kayak sekarang, matahari tuh kayak nangkring di kepala aja. Bikin pusing!" ujar cewek itu akrab. "Oh ya, kenalin aku Naisha. Aku anak kelas 12 IPA 1."
            "A...aku Rian. Aku anak kelas 12 IPA 5. Aku baru pindah dari Jakarta."
            "Oh.. dari Jakarta ya! Gimana Jakarta? Panasan mana sama Pontianak?"
            "Kayaknya sama aja deh. Sama-sama bikin gerah!"
           Naisha tersenyum sambil menyiapkan beberapa butir obat dengan segelas air putih. "Ini obatnya. Kamu minum ya!"
            "Makasih banyak ya," Rian tersipu malu.
            "Iya, sama-sama. Aku cuma sekedar ngejalanin tugasku sebagai petugas PMR, kok."
            Begitulah perjumpaan Rian dengan Naisha. Di kota titik nol ekuator dunia, Rian bertemu dengan cewek kenalan pertamanya. Naisha telah mengubah kesan pertamanya pada kota khatulistiwa. Panasnya lintang bumi tidak ia hiraukan lagi. Ada kesejukan baru yang membuatnya betah tinggal di kota ini.
            Rian dan Naisha seperti telah digariskan untuk bertemu oleh titik koordinat semesta. Mungkin ini berlebihan tapi ini bisa dibuktikan. Mereka mulai akrab. Jalinan pertemanan tidak bisa terelakkan. Meskipun mereka duduk di kelas yang berbeda, tapi mereka selalu terkoneksi. Entah itu dalam dunia maya ataupun dalam dunia nyata. Rian selalu menyempatkan diri untuk sekedar menemuinya di koridor sekolah. Ia mulai mau membuka diri di depan Naisha.
            Naisha pun mulai tahu beberapa kebiasaan aneh Rian. Mulai dari kebiasaannya
yang suka main game Sudoku pas pelajaran Fisika sampai kebiasaannya yang suka pingsan saat upacara bendera dan saat pelajaran olahraga. Rian memang sudah terbiasa dengan kebiasaan anehnya itu. Sejak SMP, ia selalu minta izin untuk absen dalam setiap upacara bendera dan setiap pelajaran yang mengharuskannya belajar di bawah sinar matahari langsung. Dan untuk upacara bendera kemarin, tentu ia masih belum berani meminta izin dispensasi karena ia masih warga baru di sekolah ini.
            Naisha adalah sosok teman cewek yang berbeda. Naisha adalah penggemar pelajaran Geografi dan Antariksa. Ia sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sains dan gejala alam. Cita-cita terbesarnya adalah menjadi ilmuan Geofisika dan bisa keliling dunia. Baginya, setiap tempat di bumi itu istimewa. Jangan heran bila National Geographic jadi saluran televisi favoritnya.
            "Kamu udah pernah pergi ke Tugu Khatulistiwa, belum?" tanya Naisha ketika mereka sedang bercakap-cakap di koridor sekolah.
            "Tugu Khatulistiwa? Di mana, tuh?" Rian penasaran.
            "Ah, kamu gimana, sih? Ke Pontianak kok belum ke sana! Itu udah jadi trademark kota, tau! Musti dicoba. Apalagi kalo udah tanggal 21 sampe 23 Maret nanti ada kulminasi matahari!"
            "Kulminasi matahari? Apaan tuh?"
            "Ah, kamu ini gimana sih? Makanya, kalo belajar Fisika jangan maen game mulu! Kulminasi itu adalah titik saat matahari tepat di atas garis khatulistiwa. Bayangan kita jadi menghilang selama beberapa detik. Pokoknya kamu harus nyoba deh! Seru, tau!"
            Kulminasi atau apa pun itu, Rian tak peduli. Gadis manis di depan matanya lebih dulu mengaburkan bayangnya. Makin lama ia makin dekat dengan Naisha. Entahlah, ada suatu perasaan lain yang membuatnya nyaman saat berada di dekatnya. Hingga ia pun tersadar kalau ternyata ia menyukainya. Ya, Rian menyukai Naisha. Dan ia berharap akan sebuah hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan atau persahabatan.
            Memang Rian baru mengenalnya beberapa minggu, tapi itu sudah cukup untuk meyakinkan hatinya. Tidak seperti Eratosthenes yang perlu bertahun-tahun sampai dia menemukan koordinat akurat garis lintang bumi, Rian hanya perlu 20 hari untuk mengkoordinasi perasaannya. Ia harus menyatakan cintanya. Tak peduli diterima atau tidak, yang penting ia sudah berusaha.
            Memang keberaniannya tidak terlalu besar. Sungguh sulit bila harus mulut yang dipaksa berbicara. Terpaksa ia harus memilih opsi yang ditawarkan teknologi. Lewat SMS, ia nyatakan perasaannya.
             "Nai, aku sebenernya suka sama kamu. Kamu mau, enggak, jadi pacar aku!" tulis Rian dalam pesannya di malam itu. Rian tahu pesan itu terkirim dengan baik. Tapi Naisha belum kunjung membalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Bukannya Naisha menolak, tapi ia tak tahu apa yang harus ia jawab. Ia bingung.
            Sebuah pesan kembali diterima Naisha, "Nai, aku tahu kamu baca SMS ini. Aku juga tahu kamu perlu waktu. Besok hari libur dan tepat tanggal 23 Maret. Aku tunggu jawabanmu besok pagi tepat sebelum kulminasi matahari. Aku akan menunggumu di dekat Tugu Khatulistiwa, Nai!"

* * *

            Sejak dari pukul 9 pagi tadi, Taman Khatulistiwa, tempat tugu titik nol khatulistiwa berada sudah dipadati oleh masyarakat dan para wisatawan yang ingin menyaksikan kulminasi matahari. Sebuah alat deteksi kulminasi berupa besi bulat sepanjang dua meter yang dihubungkan dalam dua rangkap lensa cembung telah dipersiapkan di depan tugu. Lensa cembung itu digunakan untuk menangkap sinar matahari ketika tepat di titik nol derajat garis ekuator.
            Orang-orang berkerumun, tapi Rian memisahkan diri. Tujuannya bukan menyaksikan kulminasi, jawaban dari Naisha-lah yang ia nanti. Ia sudah mencoba mengirim SMS pada Naisha berkali-kali, tapi tidak dibalas. Di bawah teriknya sinar mentari, Rian mencoba tetap berdiri untuk memperhatikan sekeliling. Ia tahu Naisha pasti datang. Ia akan datang, begitu pikirnya.
            Satu jam berlalu. Dua jam sebentar lagi berlalu. Rian masih terus berdiri seperti Tugu Khatulistiwa yang juga masih kokoh berdiri. Matahari bersinar dengan penuh arogansi. Kepalanya mulai pusing. Oh tidak, penyakit kronisnya mulai kambuh lagi. Tidak, Rian tidak boleh ambruk. Demi Naisha ia tak boleh putus asa. Kali ini ia yakin akan sistem tubuhnya.
            "Bertahanlah Rian, Naisha akan datang sebentar lagi. Naisha pasti datang!" pikirnya bergumam sendiri.
            Jam sudah menunjukkan pukul 11 lebih 40 menit. Semua orang mengerumuni
alat deteksi kulminasi matahari, tapi Rian masih enggan untuk berpindah posisi. Matahari sedang menuju titik kulminasi. Bayangannya mulai perlahan menghilang. Bumi terasa berotasi begitu cepat. Entahlah, mungkin itu hanya perasaan Rian saja. Sekeliling terasa berputar. Sengatan panas mentari membuat tubuhnya bergetar.
            "Tidak, aku pasti bertahan!" Rian terus meyakinkan diri.
            Ia terus berjuang melawan agresi panas mentari dan gravitasi bumi. Detik-detik kulminasi berlangsung sakral. Matahari semakin sangar. Langit tak menyisakan ruang untuk awan apalagi hujan. Matahari dan bumi seakan saling memelototi. Dan tepat pukul 11 lebih 51 menit, bayangan lenyap seketika. Kulminasi terjadi. Semua orang bersorak.
             Matahari bertatap muka secara intim dengan bumi. Matahari menatap Rian tajam sekali. Panas, panas, panas! Sistem tubuh Rian tak sanggup lagi. Bayangan wajah Naisha muncul sekilas seperti fatamorgana. Rian seakan melayang. Masa tubuhnya tereduksi. Ia tak sanggup lagi melawan gravitasi bumi.

* * *

            Naisha berjalan tergesa-gesa. Lorong rumah sakit bisa dilewatinya dalam sekejap mata. Langkahnya tertuju pada sebuah kamar inap di ujung sana. Naisha sudah berada di depan pintu. Seraya mengucapkan salam, ia membuka pintu.
             Terlihat Rian tengah berbaring ditemani sang ibu. Matanya tampak masih tertutup. Sepertinya ia belum sadarkan diri.
            "Oh, kamu sudah datang. Kamu Naisha, kan?" tanya ibu Rian ramah.
            "I...iya," jawab Naisha cemas. Pandangannya masih tertuju pada Rian yang masih terlelap.
            "Tidak apa, kamu enggak usah khawatir. Sebentar lagi Rian siuman, kok," ucap sang ibu tenang. "Maaf ya tadi ibu nelpon kamu. Tadi sepertinya Rian mau nelpon kamu tapi ia keburu pingsan duluan. Kalian udah janjian, ya?"
             Naisha melongo. Ia lalu tersipu malu.
            "Maafin Rian, ya! Rian itu memang anak yang ceroboh. Ia tak pernah peduli dengan kondisi badannya. Padahal, dia kan sedang sakit."
            "Sakit?" Naisha terkaget.
            "Iya, sakit. Seharusnya ibu sudah bilang pada pihak sekolah, tapi Rian menolak dan meminta ibu memberinya waktu."
            "Emang Rian sakit apa, Bu?"
            "Rian terkena kanker."
            "Kanker?" Naisha terkejut luar biasa.
            "Ya, Rian terkena kanker. Ia terkena kanker otak. Makanya dia suka pusing kalo kelamaan kena sinar matahari. Tapi tak apa, kankernya masih belum parah dan masih bisa diobati."
             Naisha tak percaya dengan apa yang didengarnya. Rian sakit? Seperti kulminasi yang tidak mungkin terjadi di malam hari, apa yang baru dikatakan ibu Rian pasti tidak benar-benar terjadi. Rian memang agak beda. Daya tahan tubuhnya memang lebih lemah dari orang kebanyakan, tapi itu tak bisa dijadikan patokan. Kanker ganas tak mungkin diidapnya. Mungkin itu cuma karena faktor cuaca.
              Ia berharap ibu Rian segera meralat ucapannya. Tapi itu cuma sekedar angan saja. Naisha tak tahu harus bersikap bagaimana. Ini terlalu sulit untuk diterka.
              Mata Rian perlahan terbuka. Setelah hampir 40 menit ia pingsan, akhirnya ia terbangun juga. Naisha dan ibunya tersenyum lega. Rian segera bangkit duduk dan memandang Naisha.
             "Jadi jawabanmu gimana, Nai? Aku diterima, enggak?" tanya Rian yang masih dalam kondisi lemas.
             Naisha terdiam. Garis ekuator mungkin bisa membelah bumi menjadi dua, tapi hatinya tidak bisa. Garis ekuator dan Rian adalah suatu hal yang berbeda, tapi iba dan rasa cinta bisa berarti sama. Naisha mematung bagai tugu katulistiwa. Tetes air mata di pipi tak mampu membuka esensi jawaban di hatinya.

* * *

Minggu, 06 Oktober 2013

Sayap Kupu-Kupu



SAYAP KUPU-KUPU

Anita Nugrah Hasanah

Kata siapa ulat itu tidur di dalam kepompongnya? Ia sedang membuat sayap kupu-kupu yang indah. Apa kau tidak percaya? Cepat, lihatlah. Di hadapanku ada ulat itu. Ia akan segera terbang. Kepala lucunya muncul dari dalam, menyeruak selubung yang beberapa waktu mengurungnya. Pelan dan pelan, tapi pasti. Lihat, sayap itu mulai keluar. Warnanya hijau! Cantik bukan main.
 Sayap itu...
 Menyeruak.
 Terbang.
 Begitu cepat. Secepat dunia yang berubah. Dari purba menjadi modern. Dari nomaden yang berpindah-pindah menjadi maden, yang punya tempat tinggal tetap. Dari gua menjadi bangunan rumah yang begitu nyaman.
 "Delia, kau sedang berpikir apa lagi?" seseorang mengagetkanku. Perempuan tengah baya itu guruku. Ia beberapa kali memergoki aku yang diam, sekadar melihat kepompong seperti saat ini. Seperti menerka apa yang sedang kukerjakan.
 Kutunjukkan kepompong kosong. Guruku melihat miris kepompong itu. Ah, tidak. Jangan melihat seperti itu. Rumah kepompong begitu kuat. Lihat saja, rumah itu bisa mengering bahkan membatu hingga bertahun lamanya.
 "Kau harusnya bermain dengan teman-temanmu, bukan berada di sini," Bu Guru menepuk pundakku. Aku mengangguk. Pergi. Bukan pergi bermain, tapi memilih masuk ke dalam kelas.
*** 
Saat jam istirahat, kelas ini jadi sepi. Semua anak ke kantin, ke lapangan, ke perpustakaan atau kemana pun sesuka hati mereka. Kubuka buku gambar yang ada di laci meja. Ada banyak kupu-kupu yang kugambar di sana. 
Entah sejak kapan aku begitu tergila-gila dengan kupu-kupu. Di kamarku sangat banyak poster dan foto-fotonya. Aku juga punya kostum sayap kupu-kupu. Meskipun jika aku menggunakannya, aku lebih mirip peri. Bukan kupu-kupu. 
BUK! 
Sebuah dentuman mengagetkan aku. Bunyi apa itu? Kuhampiri, terdengar dari arah belakang.
 "Kamu lagi?" tanya laki-laki yang lebih tinggi itu kepadaku. Aku segera berbalik. Tak perlu kutanya, sedang apa dia. Pasti ia tidur lagi pada bangku-bangku yang dijejerkan jadi panjang. Dan tentu saja, ia jatuh lagi.
 "Kamu nggak pernah main, ya? Belum punya teman?" Ia sedikit mengejar langkahku. Aku tidak bereaksi apa-apa. Mukaku seperti biasa, datar.
 "Kamu anak baru itu, kan? Dari awal masuk nggak pernah ngomong. Sampai perkenalan di kelas pun tetap Ibu Guru yang bicara." Ia masih mengejarku. Sekarang ia malah duduk di sebelahku.
 Aku ingin bilang, aku bukan orang yang sombong. Tapi kutahan. Aku tidak ingin mengeluarkan kata atau suara apa pun. Jika kuterangkan, tetap saja ia tidak akan mengerti.
 Ia melirik buku gambarku. Dibukanya. Seperti segera ingin melihat apa yang ada di dalamnya. Aku suka jika ia tertarik dengan buku gambar itu.
 "Waaah, gambar kamu bagus banget!" decaknya, sambil menatap buku itu. "Kamu suka kupu-kupu, ya?" Aku mengangguk.
 "Apa kupu-kupu bisa dipelihara? Ada berapa jenisnya?" tanyanya. Aku masih diam.
 "Ah, kamu sombong!" Tiba-tiba ia menghempaskan buku itu.
  "Au...au...a-o-oo...!" kataku setengah berteriak. Aku...akhirnya mengeluarkan suara yang selama ini kutahan. Di hadapannya dan di hadapan anak-anak lain di sekolah ini. Ya, aku cuma seorang gagu.
 "Au a o-o ...!"
 Ia mematung.
***
 Sebenarnya, baru satu minggu aku pindah sekolah. Tapi hari ini aku ingin bolos. Aku benar-benar tidak mau pergi ke sekolah. Tidak. Cuma tatapan Mama memaksaku untuk berangkat. Aku rasanya tidak kuat bertemu semua orang. Andai saja di sekolah cuma ada aku. Aku seorang. Tidak ada anak lain. Tidak juga ia.
 Kakiku ragu masuk ke kelas.
 "Aku pinjam ini dari perpus." Anak laki-laki itu menyerahkan sebuah buku tebal. Ada kupu-kupu di sampulnya. Ensiklopedi.
 Ragu.
 Tapi aku ingin mengetahui isinya. Aku pernah melihat buku seperti ini di sekolahku dulu. Tapi tidak setebal ini. Dan warnanya pun berbeda.
 Ia meletakkan buku itu di atas mejaku. Dan pergi ke bangkunya di bagian belakang. Kulihat punggungya. Ada getaran aneh yang tak bisa kujelaskan. Entah.
***
            Kupu-kupu itu punya empat helai sayap. Di depan dan di belakang, pada sisi kiri dan kanan tubuh mungil itu. Badannya berbuku-buku, yang disebut segmen. Ada tiga bagian. Ia punya antena yang disebut dengan sesunguk, mata majemuk dan juga belalai atau istilahnya probosis. Belalai, sebutan yang lucu untuk kupu-kupu. Seperti yang ada pada gajah juga, kan?
 Kututup halaman itu. Ia datang lagi.
 "Kamu tahu, kenapa sayap kupu-kupu bisa berwarna?" tanyanya. Aku mengangguk. Aku sudah membacanya. Tapi ia terus bicara, seolah aku belum baca apa-apa.
"Warna merah dan hitam berasal dari pigmen sisik kupu-kupu. Kamu sudah baca bagian itu belum?"  Ia melanjutkan, "Tapi untuk warna hijau dan kuning, pigmen itu tidak ada. Warnnya cuma terbentuk dari susunan kontur sisik kupu-kupu. Cahaya juga punya peranan penting saat mengenai kontur sisik-sisiknya." Bagian ini aku belum baca. Aku tersenyum padanya. Hei, tersenyum? Sejak kapan aku bisa senyum pada orang lain?
 "Oh iya, kenapa kamu bisa suka dengan kupu-kupu?" Aku mengangkat bahu.
 "Jangan-jangan kamu suka karena kupu-kupu itu makan madu?" selidiknya. Aku menggeleng cepat. Aku tahu, kupu-kupu tak cuma makan madu. Ada sebagian kupu-kupu yang hinggap di bangkai atau pun kotoran hewan. Mereka membutuhkan kandungan natrium yang bisa diperoleh dari madu pada bunga atau juga pada sumber lainnya, jika memang bunga tidak ada.
 "Lalu?" ia bertanya lagi.
 Kuambil kertas dan pensil dari dalam tas. Kutuliskan sesuatu. Ia membacanya, "Karena aku cantik seperti kupu-kupu?" Ia mengernyitkan alisnya. Ha-ha-ha, kami tertawa.
 Ada satu alasan yang tak ingin kuberi tahu padanya.
 Karena, aku merasa sama seperti kupu-kupu. Sama-sama tak bisa bicara. Aku sedih? Tidak juga. Kubuka lagi buku tebal itu. Kami melihat sayap indah kupu-kupu. Ada rasa bahagia yang meruak, sulit untuk kuungkapkan.
 Aku tak peduli lagi, apakah aku bisa bicara atau tidak. Apakah orang lain tahu tentang hal itu. Hidup ini begitu indah. Tak cuma ada kekurangan. Pasti ada kelebihan.
 Aku adalah Delia. Aku berpindah-pindah sekolah agar tidak dijauhi saat ketahuan tak bisa bicara. Aku memang seorang gagu. Aku masih bisa mendengar. Aku suka menggambar. Aku suka kupu-kupu. Aku ingin lebih mengenal dunia. Ingin dunia mengenalku, sama seperti mereka mengenal sayap kupu-kupu.
***

hey!


Saat benangmu putus, jangan khawatir. Aku adalah anak kecil yang akan mengejarmu. Dimanapun angin membawamu pergi. Kamu tidak akan sendirian. :)

Sabtu, 22 Juni 2013

Minggu, 12 Mei 2013

My way

Dua jalan bercabang dalam remang hutan kehidupan
Dan sayang aku tidak bisa menempuh keduanya
Dan sebagai pengembara, aku berdiri lama
Dan memandang ke satu jalan sejauh aku bisa
......
Dua jalan bercabang di hutan,
Dan aku akan menempuh jalan yang jarang dilalui
Dan itu mengubah segalanya!

Sabtu, 11 Mei 2013

pft

 "pecahkan saja gelasnya agar ramai"
Ketika berbeda prinsip, berbeda pikiran, tidak saling mengerti, sama-sama kritis, sama-sama keras kepala....and then BAM!

Rabu, 08 Mei 2013

Senin, 06 Mei 2013

Niat!

Bukan romance, buka poetic, tapi tetep metaforis hahaha

Semua manusia yang didedikasikan hidup di alam fana ini sebagai khalifah meyakini seteguh hati bahwa ada hari lain yang jauh lebih nyaman dan asyik dibanding hari hari yang kita jalani di dunia ini, yaitu akhirat.
Untuk memperolehnya tentu butuh usaha keras. Pondasi niat menjadi pilar utama menuju hal itu, karena niat berimplikasi terhadap semua aktifitas kekhalifahan di dunia, sedangkan dunia sendiri adalah ladang akhirat.
Pesan rasulullah kepada Abu Dzar “perbaharuilah perahumu, karena sesungguhnya lautan itu dalam". Ia mengumpamakan niat sebagai perahu dan kehidupan ini seperti lautan yang dalam dan luas, perahu untuk menampung semua unsur dan materi yang hendak di bawa ke akhirat, tempat yang damai dan asyik serta membahagiakan.
Lautan punya gelombang yang mampu menggeser manusia dari tujuan semula, yang benar berubah menjadi salah, dari yang lurus menjadi belok, dari pemberani menjadi pengecut, dari penyabar menjadi pemarah, serta ketersinggungan yang dominatif dan abadi bersemayam ke dalam hati orang orang yang dibelokkan oleh gelombang lautan duniawi.
Makna lain yang mungkin tersembunyi adalah buih, Lautan juga banyak dihuni buih yang indah dalam panorama pandangan mata namun minus fungsinya. Buih sebagai simbol bayang bayang duniawi yang ‘menipu’, besar secara eksistensi akan tetapi kerdil secara substansi. Dengan berbagai rayuan keindahan, dunia mampu menjebak orang-orang bodoh terkurung dalam langkah kehidupan praktis dan berorientasi ekonomis, ketimbang berbicara konsep ideologis, atau landasan epietemologis. 
Pendek kata, manusia adalah simbol kekhalifahan Allah secara total di dunia, sebagai buku panduannya adalah al Qur'an dan petunjuk rasul utusan-Nya. 
Sejatinya yang menjadikan manusia tidak mampu adalah karena malas dan keengganannya dalam melaksanakan tugas kekhalifahan. Tentu, masih ada kamus yang dirujuk oleh orang orang yang berstatus tidak becus dengan mengatakan “tidak bisa”, tetapi tidak ada kamus yang dapat menjawab sebuah problema mana kala yang dikatakan adalah “saya malas”.
Disitulah efektifitas perbaikan niat untuk menggapai kebahagiaan di akhirat.

Sabtu, 04 Mei 2013

Those eyes...

Sayu sempurna. Indah dan cemerlang. Sudut lengkungnya semburat keceriaan. Bagaimana aku bisa lupa pancaran mata itu?

Rabu, 24 April 2013

:)

Diantara sisa hujan, terlukis hening dipekat malam. Bintang seolah enggan datang. Sang rembulan menyepi berselimut halimun. Lamunan seketika menyeruak, menyibak ingin dihati yg sering tak terhiraukan. Yahh... Sederhana saja. Ketika ada lelah melampaui pinta. Ada pasrah kugantungkan di sebaris doa. Dan.. malam ini kuhanya ingin terlelap tanpa beban. Hingga esok terjaga dengan sekuntum senyum dan harapan. 0:-)

Selasa, 23 April 2013

Jumat, 12 April 2013

Oh you..

Umpama darah dan jantung, mengalirkan kehidupan
Laksana akar, pohon, ranting, dedaunan, lahirnya mewarnai bunga harapan

Seperti bulan dan bintang , hadirnya penerang kegelapan

Laksana api, pembakar semangat

Bagai air, pemadam kebimbangan

Bagai ibu jari, mengenggam dan menguatkan